Beranda > Fiqh Pernikahan > Menikahi Wanita Dibawah Umur, Kenapa Tidak?

Menikahi Wanita Dibawah Umur, Kenapa Tidak?


Penulis : Al Ustadz Abdurrahman bin Sarijan

Segala puji bagi Allah semata, sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada nabi Muhammad, keluarga, para sahabat, dan ummatnya hingga akhir zaman.

Amma ba’du;

Sebaik-baiknya Kalam adalah Kalamullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jeleknya perkara adalah perkara baru dalam agama (muhdats), karena setiap yang muhdats adalah bid’ah, setiap yang bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat tempatnya di Neraka.
Tsumma amma ba’du;

Dalam suatu media massa diterangkan bahwa menikah dengan wanita di bawah umur adalah sesuatu yang terlarang. Berkata ketua MUI: “Perempuan atau pria boleh kawin kalau sudah akil baliq. Artinya biologis mengizinkan”. Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak.

Benarkah menikahi wanita di bawah umur tidak boleh? Dan bagaimanakah syari’at ini (baca: Islam) memandang tentang hukum menikahi wanita di bawah umur? Semoga risalah ini dapat membuka wacana kita dalam menyikapinya dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

A. Definisi Nikah

Makna nikah dalam dalam bahasa arab adalah mengadakan hubungan badan (coitus).

B. Perintah Nikah

Perintah nikah berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’.
*) Al Qur’an
Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء (3) سورة النساء

“…maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi…” (QS. An Nisa’: 3).

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (21) سورة الروم

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar Ruum: 21).

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (32) سورة النــور

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An Nuur: 32).

Berkata Ibn Katsir ketika menafsirkan ayat di atas sbb:”Ayat ini menerangkan tentang diperintahkannya menikah. Para ulama berbeda pendapat tentang kewajibannya, karena dilihat dari kemampuan seseorang. Hal ini berdasar dlohir hadits berikut:

يا معشر الشباب, من استطاع منكم الباء فليتزوج, فإنه أغض للبصر و أحصن للفرج, ومن لم يستطع فعليه بالصوم, فإنه وجاء

“Wahai para pemuda, jika kalian memiliki kemampuan maka menikahlah. Karena yang demikian itu akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga farji. Barangsiapa yang belum mampu melakukannya maka lakukanlah puasa, karena puasa adalah tameng” (HR. Bukhori no. 1905; Muslim no. 1400)….” (Tafsir Ibn Katsir 5/94 cet. Dar Al Andalus, dinukil dari Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashu bil Mu’minat, hal: 84 Syaikh Sholih Al Fauzan cet. Idaroh Buhuts Al Ilmiyah, KSA).

*) As Sunnah (Al Hadits)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يا معشر الشباب, من استطاع منكم الباء فليتزوج

“Wahai para pemuda, jika kalian memiliki kemampuan maka menikahlah…” (HR. Bukhori no. 1905; Muslim no. 1400).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

النكاح سنتي فمن رغب عن سنتي فليس مني

“Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukan termasuk dari golonganku (ummat nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, pent)” (HR. Ibn Majah no. 1846. Hadits ini di-SHAHIH-kan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shohih Jami’ As Shoghir no. 6807).

*) Ijma’
Kaum muslimin telah ijma’ (=bersepakat) tentang disyari’atkannya nikah. Hal ini sebagai upaya untuk kemaslahatan bersama dan mencegah dari kerusakan jismiyah. Allah Ta’ala berfirman:

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu….” (QS. An Nuur: 32) adalah perintah

Dan firman-Nya:

فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ (232) سورة البقرة

“….maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi….” (QS. Al Baqoroh: 232) adalah larangan.

C. Rukun Nikah

Rukun nikah ada dua, yaitu:
-) Ijab -) Qobul

D. Syarat Nikah

Syarat-syarat nikah diantaranya adalah sbb;
-) Adanya wali
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا نكاح إلا بولي

“Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali” (HR. Ahmad 4/394; Abu Dawud no. 2085; At Tirmidzi no. 1101; Ibn Majah no. 1881; Ibn Hibban no. 1243).
-) Adanya 2 (dua) saksi (yang adil).
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا نكاح إلا بولي و شاهدين

“Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua saksi” (HR. Baihaqi 7/125; Ad Daruquthniy 3/225. Hadits ini di-SHAHIH-kan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 7558 dan dalam Irwa’ul Gholil no. 1839, 1858. Di-DLO’IF-kan oleh Syaikh Al ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ jilid 12 hal 94 cet. Dar Ibn Al Jauziy).

Sedangkan tambahan kalimat “adil” adalah berasal dari Ibn Abbas radhiallahu anhuma. (Lihat dalam Irwa’ul Gholil jilid ke 6 cet. Maktabah Al Islamiy, Bairut Libanon).
-) Adanya penyebutan nama yang akan menikah (yakni fulan bin fulan atau fulanah binti fulan, pent).
-) Ridlo dari orang yang akan menikah/mempelai.

E. Manfaat Nikah

Diantara manfaat pernikahan adalah sebagai berikut;
-) Melindungi dari perbuatan zina.
-) Terwujudnya keluarga yang sakinah.
-) Terwujudnya kerja sama antara suami istri.
-) Terjaganya nasab/keturunan dan nama baik.
-) Terjaganya wanita dengan perlindungan suami dll. (Lihat pada kitab Tawadlih Al Ahkam min Bulughil Marom, 5/210; Taisir Alam Syarh Umdatul Ahkam jilid:… ; Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashu bil Mu’minat, hal: 86).

Setelah kita mengetahui dan memahami pembahasan di atas, maka berikut kami terangkan tentang hal yang berkenaan dengan pernikahan wanita. Dalam hal ini meliputi hal-hal sebagai berikut;

-) Menikahkan gadis yang masih kecil.
-) Menikahkan gadis yang telah baligh.
-) Menikahkan janda.
Masing-masing memiliki hukum tersendiri

*) Menikahkan Gadis Yang Masih Kecil

Seorang ayah dapat menikahkan anak gadisnya yang masih kecil dengan orang yang diridloinya tanpa harus meminta izin kepadanya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakr As Shidiq radhiallahu anhu ketika menikahkan putrinya, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam padahal ia (Aisyah) masih berusia 6 (enam) tahun.{1}

Berkata Imam As Syaukani:”Pada hadits ini terdapat dalil tentang diperbolehkannya bagi seorang bapak untuk menikahkan anak gadisnya sebelum baligh”. Ia juga berkata:”Dalam hadits ini terdapat dalil tentang diperbolehkannya menikahkan wanita yang masih kecil dengan pria dewasa. Hal ini sebagaimana terdapat dalam suatu bab pada (kitab) SHAHIH Bukhori yang kemudian ia menyebutkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ini….” (Lihat Nailul Author 6/128, 129).{2}

Catatan:
Yang dimaksud dalam pembahasan bab ini adalah diperbolehkannya melakukan aqad nikah dengan wanita yang masih kecil, sedangkan untuk melakukan hubungan badan (coitus) dilakukan setelah wanita tersebut baligh{3}. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam terhadap ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.

*) Menikahkan Gadis Yang Telah Baligh.

Orang tua tidak boleh menikahkan anak gadisnya yang telah baligh kecuali dengan izinya dan izin seorang gadis yang telah baligh adalah diamnya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ولا تنكح البكر حتى تستأذن

“Janganlah engkau menikahkan seorang gadis hingga engkau meminta izin darinya”.Ya Rasulullah, bagaimanakah (kita mengetahui, pent) izinnya? Rasulullah menjawab:”izinnya adalah diamnya” (HR. Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي. قاَلَ: رِضَاهَا صَمْتُهَا

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu malu (untuk menjawab bila dimintai izinnya dalam masalah pernikahan).” Beliau menjelaskan, “Tanda ridhanya gadis itu (untuk dinikahkan) adalah diamnya.” (HR. Bukhari no. 5137).

Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullahu: “Ulama berbeda pendapat tentang izin gadis yang akan dinikahkan, apakah izinnya itu wajib hukumnya atau mustahab (sunnah). Yang benar dalam hal ini adalah izin tersebut wajib. Dan wajib bagi wali si wanita untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memilih lelaki yang akan ia nikahkan dengan si wanita, dan hendaknya si wali melihat apakah calon suami si wanita tersebut sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu untuk kemaslahatan si wanita, bukan untuk kemaslahatan pribadi si wali.” (Majmu’ Fatawa, 32/39-40)

*) Menikahkan Janda.

Orang tua tidak boleh menikahkan anaknya yang telah janda kecuali dengan izinnya. Izin dari seorang janda adalah dengan lisan/ucapannya, hal ini kebalikan dari wanita yang masih gadis. (Lihat juga pada Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashu bil Mu’minat, hal: 89-90).{4}

Khansa` bintu Khidam Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan, ayahnya menikahkannya dengan seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan perkaranya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga akhirnya beliau membatalkan pernikahannya. (HR. Bukhari no. 5138).

Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya: Bab Apabila seseorang menikahkan putrinya sementara putrinya tidak suka maka pernikahan itu tertolak. Allahu Ta’ala A’lam.

Note Foot:
{1} HR. Bukhori dan Muslim.
{2} Lihat juga kitab Al Mughniy 6/487.
{3} Tidak ada batasan khusus tentang usia baligh bagi seorang wanita karena hal ini terjadi berbeda-beda pada setiap wanita.
Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa seorang wanita apabila telah berusia 9 tahun maka ia telah baligh (Lihat Irwa’ul Ghlolil jilid 6).
{4} Syaikh Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh rahimahullah ditanya:”Bagaimana hukumnya seorang bapak memaksa putrinya yang janda untuk menikah?”

Jawab: Apabila masalahnya seperti yang saudara sebutkan, maka pernikahan tersebut tidak sah. Sebab termasuk syarat pernikahan adalah ridlonya calon mempelai. Dan tidak boleh seorang bapak memaksa putrinya yang sudah janda untuk menikah, dengan syarat umur janda tersebut di atas sembilan tahun menurut kesepakatan ulama. (Fatawa wa Rosail Syaikh Muhammad bin Ibrohim, 10/84).

Maroji’:
-) Al Qur’anul Kariim.
-) Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashu bil Mu’minat. Syaikh Sholih Fauzan Al Fauzan.
-) Irwa’ul Gholil. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
-) Syarhul Mumti’ ‘ala Zadul Mustaqni’. Syaikh Muhammad Sholih Al ‘Utsaimin.
-) Kitab Fiqh menurut 4 mazhab.
-) Fatawa Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah. Disusun oleh Amin Yahya Al Wazan.
-) Tawadlih Al Ahkam min Bulugh Al Marom. Syaikh Abdus Salam Al Barjas.
-) Taisir Alam Syarh ‘Umdatul Ahkam. Syaikh Abdus Salam Al Barjas.

SUMBER URL : http://ibnusarijan.blogspot.com/2008/10/menikahi-wanita-dibawah-umur-kenapa.html

Kategori:Fiqh Pernikahan
  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar