Arsip

Archive for the ‘Darah Kebiasaan Wanita’ Category

Penutup


Sampai di sinilah apa yang ingin kami tulis dalam judul segala cabang dan bagian masalah serta apa yang terjadi pada wanita dalam permasalahan ini bagai samudera tak bertepi.

Namun, orang yang mengerti tentu dapat mengembalikan cabang dan bagian permasalahan kepada pokok dan kaidah umumnya serta dapat mengkiaskan segala sesuatu dengan yang semisalnya.

Perlu diketahui oleh mufti (pemberi fatwa), bahwa dirinya adalah penghubung antara Allah dan para hamba-Nya dalam menyampaikan ajaran yang dibawa RasuI-Nya dan menjelaskannya kepada mereka. Dia akan ditanya tentang kandungan Al Qur’an dan Sunnah, yang keduanya merupakan sumber hukum yang diperintahkan untuk dipahami dan diamalkan. Setiap yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah adalah salah, dan wajib ditolak siapapun orang yang mengucapkannya serta tidak boleh diamalkan, sekalipun orang yang mengatakannya mungkin dimaafkan karena berijtihad dan mendapat pahala atas ijtihadnya, tetapi orang lain yang mengetahui kesalahannya tidak boleh menerima ucapannya.

Seorang mufti wajib memurnikan niatnya, semata-mata karena Allah Ta’ala, selalu memohon ma’unah-Nya dalam segala kondisi yang dihadapi, meminta ke hadirat-Nya ketetapan hati dan petunjuk kepada kebenaran. Baca selengkapnya…

Pasal 6 : Nifas Dan Hukum-hukumnya


1.Makna Nifas

Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya (2 atau 3hari) yang disertai dengan rasa sakit.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas.” Beliau tidak memberikan batasan 2atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari’at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits.” Baca selengkapnya…

Pasal 7 : Penggunaan Alat Pencegah Atau Perangsang Haid, Pencegah Kehamilan, Dan Pengguguran Kehamilan


1.Pencegah Haid

Diperbolehkan bagi wanita menggunakan alat pencegah haid, tapi dengan dua syarat:

a.Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya. Bila dikhawatirkan membahayakan dirinya karena            menggunakan alat tersebut, maka hukumnya tidak boleh.

Berdasarkan firman Allah Ta ‘ala:

“… Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,… ( Al-Baqarah : 195).

“… Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu.”(An Nisa’: 29).

b.Dengan seizin suami, apabila penggunaan alat tersebut mempunyai kaitan denganya. Contohnya, si isteri dalam keadaan beriddah dari suami yang masih berkewajiban memberi makan kepadanya, menggunakan alat pencegah haid supaya lebih lama masa iddahnya dan bertambah nafkah yang diberikannya. Hukumya, tidak boleh bagi si isteri menggunakan alat pencegah haid saat itu kecuali dengan izin suami. Baca selengkapnya…

Pasal 5 : Istihadhah Dan Hukum-hukumnya


1.Makna Istihadah

Istihadhah ialah keluamya darah terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.

Dalil kondisi pertama, yakni keluamya darah terus-menerus tanpa henti sama sekali, hadits riwayat Al- Bukhari dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

“Ya Rasulullah, sungguh aku ini tak pemah suci ”

Dalam riwayat lain· “Aku mengalami istihadhah maka tak pemah suci. ”

Dalil kondisi kedua, yakni darah tidak berhenti kecuali sebentar, hadits dari Hamnah binti Jahsy ketika datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata:

“Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami Istihadhah yang deras sekali. ” (Hadits riwayat Ahmad,AbuDawud dan At-Tirmidi dengan menyatakan shahih. Disebutkan pula bahwa hadits ini menurut Imam Ahmad shahih, sedang menurut Al-Bukhari hasan. Baca selengkapnya…

Pasal 4 : Hukum-hukum Haid


Terdapat banyak hukum haid, ada lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami anggap banyak diperlukan, antara lain:

1.Shalat.

Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat, dan tidak sah shalatnya. Jugatidak wajib baginya mengerjakan shalat, kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu rakaat sempuma, baik pada awal atau akhir waktunya.

Contoh pada awal waktu: seorang wanita haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan sebanyak satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah suci, mengqadha’ shalat maghrib tersebut karena ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat sebelum kedatangan haid. Baca selengkapnya…

Pasal 3 : Hal-hal Diluar Kebiasaan Haid


Ada beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan haid:

1.Bertambah atau berkurangnya masa haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.

2.Maju atau mundur waktu datangnya haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan lain tiba-tiba pada awal bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan lain tiba-tiba haid pada akhir bulan.
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun, pendapat yang benar bahwa searang wanita jika mendapatkan darah haid maka dia berada dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya serta maju atau mundur dari waktu kebiasaannya. Dan telah disebutkan pads pasal terdahulu dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid. Baca selengkapnya…

Pasal 2 : Usia Dan Masa Haid


1. Usia Haid

Usia haid biasanya antara 12 sampai dengan 50 tahun Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.

Para ulama, rahimahullah, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut?

Ad-Darimi, setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini, mengatakan: “Hal ini semua, menurut saya, keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimana pun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Juz 1, hal 486)

Pendapat Ad-Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi, kapan pun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab, Allah dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut, serta tidak memberikan batasan usia tertentu. Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan padahal tidak ada satupun dalil yangmenunjukkan hal tersebut . Baca selengkapnya…

Pasal 1 : Makna Haid Dan Hikmahnya


1. Makna Haid

Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara’ ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.

2. Hikmah Haid

Adapun hikmahnya, bahwa karena janin yang ada di dalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta’ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, di mana darah tersebut merasuk melalui urat dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta. Baca selengkapnya…